Selasa, 22 April 2008

RESPONSE PAPER 9

THE FUTURE OF IDEAS, BAB 12-13

our systematic blindness is to the lesson of our tradition—that property flourishes best in an environment of freedom, both freedom from state control and freedom from private control

- Lawrence Lessig

Kutipan diatas adalah inti pemikiran Lawrence Lessig, setidaknya dalam dua bab ini, yaitu bab 12 dan 13 dari The Future of Ideas, buku tulisan Lessig sendiri. Dikutip dari halaman 237, kalimat itu menggambarkan betapa pentingnya kebebasan dalam berkreasi. Ketika semua orang seakan-akan berlomba untuk menciptakan regulasi-regulasi, dan berlomba-lomba untuk menjadikan lahan-lahan publik sebagai properti kepemilikan, maka saat itu pulalah kreativitas menjadi dibelenggu. Bab 12 berbicara perlunya kebebasan dalam spektrum radio, sementara bab 13 berbicara tentang perlunya kebebasan secara umumnya, dan bahwa masalah utama kebudayaan masa kini adalah tergila-gila pada kepemilikan.

Bab 12

Spektrum radio, adalah lahan inovasi. Lahan dimana kebebasan dan kreatifitas para innovator seharusnya tidak dibatasi oleh regulasi-ragulasi mengenai kepemilikan yang rumit. Regulasi-regulasi ini, selain menyulitkan, juga dapat dengan mudah digunakan untuk kepentingan sebagian orang yang justru tidak ada hubungannya dengan radio. Orang-orang ini adalah para pemilik modal yang ingin mengeruk keuntungan dari kepemilikan di spektrum di radio. Lessig menyajikan contoh saat pengusaha berlomba-lomba mendukung Dwight D Eisenhower dalam pencalonannya sebagai presiden dengan cara memasukkannya dalam liputan. Dengan kata lain, spektrum, yang adalah milik publik, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan segelintir orang saja, yaitu para politisi dan para kapitalis. Hal inilah yang dikritik Lawrenca Lessig. Spektrum adalah wilayah publik. Maka seharusnya spektrum dibiarkan saja bebas. Privatisasi bisa dilakukan setelahnya, setelah benar-benar diperlukan.

Pendapat Lessig bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan Hazlett. Dia mengatakan bahwa spektrum seharusnya diatur dengan regulasi pasar. Kepemilikan spektrum harus dilakukan dengan cara auction, atau lelang. Disini, kekuatan pasar benar-benar bermain. Dan para pemilik modal yang diuntungkan, bukan para inovator.

Ide ini, pada dasarnya lebih populis. Bagi sebagian orang, ide Hazlett ini berarti menambah pemasukan negara, dan bagi orang yang lain lagi, ide ini berarti mendukung terciptanya pasar bebas.

Bagi Lessig sendiri, ide ini jelas sebuah pembuktian bahwa para pemilik modal dan para pengusaha kakap, pasti akan berjuang sekuat tenaga untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk mengamankan bisnis besarnya itu.

Bab 13

Lessig menceritakan bahwa di sebuah sekolah film di California membatasi dengan ketat akses ke jaringan film-film buatannya. Semua akses diberi password. Lessig juga bercerita tentang Pat Feely, yang pada tahun 1970an memperkenalkan cara proteksi terhadap film-film Disney. Proteksi dilakukan dengan mengunci RCA (media penyimpanan film) setelah film tersebut diputar satu kali. Jika ada orang yang ingin menontonnya lagi, maka harus dibawa ke toko, dan kemudian di-unlock. Cara ini tidak disukai para pemimpin Walt Disney, dan tidak pernah digunakan.

Masalah kemudian adalah, seperti yang dikemukakan Lessig, adalah bahwa orang cenderung dibutakan dengan keharusan menjadikan sebuah inovasi sebagai properti. Dalam tahap ini, kreasi akan terhambat, karena dikontrol, baik oleh hukum maupun oleh kepentingan-kepentingan pribadi.

Masyarakat, menurut Lessig, tidak memberikan argumen, mengapa pengaturan properti terhadap sebuah inovasi mampu memberi nilai tambah, dan mengapa kebebasan terhadap inovasi akan gagal. Masyarakat seolah-olah bersikap taken for granted, tanpa memikirkan terlebih dahulu dampaknya.

Ide Lessig akan kebebasan sumber daya adalah bahwa sebuah inovasi tidak akan menjadi murah atau turun nilainya jika dijadikan bebas. Common Creative oleh Lessig ini, seperti diketahuinya, mendapat pertentangan dari para pemilik modal dan para pengusaha-pengusaha yang selama ini mendapat keuntungan dari regulasi ketat terhadap inovasi. Mereka adalah golongan yang anti terhadap open source, dan inovasi yang gratis. .

Selasa, 15 April 2008

RESPONSE PAPER 8 : COMMONS ON WIRES

Dari buku Lawrence Lessig : The Future of Ideas bab 3

Inti dari bab ini adalah bahwa ide Common Creative adalah ide yang tak terbatas, inovatif, dan dapat sangat berguna bagi banyak orang. Ini dibuktikan dengan ulasan Lawrence Lessig terhadap Tim Berners Lee, yang menciptakan sistem HTTP (Hypertext Transfer Protocol) dengan ide dasar non profit, diciptakan bagi semua orang, dan diciptakan sebebas-bebasnya. Ide Berners Lee ini pada masanya dianggap tidak relevan, aneh, dan sulit dimengerti. Tetapi, pada kelanjutannya, ide inilah yang kemudian menjadi salah satu penemuan penting yang mengubah dunia penerbitan elektronik khususnya hingga saat ini. Hyper Text Transfer Protocol terbukti dapat menolong jutaan orang di dunia mengatasi kendala-kendala dalam berkomunikasi.

Ide Berners Lee ini timbul saat dunia komunikasi di dunia masih dikuasai AT&T. Perusahaan ini menguasai jaringan telepon. AT&T lah yang memonopoli jaringan telepon pada masa itu. Tetapi pada saat itu, monopoli yang dilakukan AT&T dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Banyak inovasi dilakukan oleh AT&T untuk memperbaiki layanannya seperti : membuat pad hush-o-phone pada ujung gagang bicara, yang berguna untuk menyaring noise. AT&T juga membuat jaringan telepon yang sangat rapi. Singkatnya, apa yang dilakukan AT&T membuat banyak kemajuan berarti bagi dunia telekomunikasi.

Tetapi kemudian, ada Paul Baran yang meneliti tentang sistem jaringan AT&T. Ditemukan kemudian, banyak kelemahan-kelemahan dari sistem komunikasi AT&T. Salah satunya yang paling krusial adalah sentralisasi. Sistem yang tersentralisasi membuat sistem ini rentan kerusakan. Satu kerusakan pada inti jaringan dapat membuat seluruh jaringan rusak. Selain itu, terdapat masalah etis, bahwa semua komunikasi yang dilakukan orang melalui telepon AT&T dapat diakses oleh pihak yang berada di pusat sistem. Hal ini dikarenakan AT&T bersifat sentralistik. Visi AT&T terhadap bagaimana seharusnya dunia telekomunikasi ternyata berbeda dengan jenis komunikasi yang sesungguhnya dibutuhkan oleh orang banyak.

Baran kemudian menjelaskan bagaimana seharusnya prinsip jaringan yang ideal. Idenya adalah membuat jaringan telekomunikasi yang sifatnya interkoneksi, dimana sentralisasi menjadi minim. Ide Baran ini bukan cikal-bakal internet, tetapi ide dasarnya mirip.

Adalah ide Tim Berners Lee yang kemudian menjadi cikal-bakal internet. Idenya adalah, membuat sistem jaringan yang mendorong keterlibatan semua orang, dan mendorong inovasi-inovasi baru. Idenya ini dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut :

  1. Arsitektur sistem yang sederhana

Menjamin semua orang dapat mengaksesnya tanpa kebingungan. Manfaatnya dirasakan oleh semua orang, bukan hanya oleh awam, tetapi juga oleh para pengguna ahli dan bahkan para innovator. Arsitektur yang rumit justru akan membatasi pengguna yang sudah ahli yang seharusnya dapat melakukan inovasi lebih banyak.

  1. Kebebasan penggunaan oleh semua orang

Semua orang dapat bebas menggunakannya. Tidak ada keharusan registrasi, berlangganan atau harus membeli alat baru. Satu-satunya hal yang dibutuhkan adalah agar terkoneksi pada jaringan tersebut (internet)

  1. Gratis

Tidak perlu ada tambahan biaya, tidak perlu berlangganan.

  1. Independen

Tidak dimiliki siapapun. Secara praktis, benar-benar dimiliki oleh masyarakat banyak. Independensi ini menjamin kebebasan seluas-luasnya bagi pemanfaatan, sehingga banyak fungsi yang terlayani dan banyak inovasi yang dihasilkan.

  1. Bebas dikembangkan

Harus dapat netral, sehingga semua developer bebas mengembangkan aplikasi apapun yang berbasis sama. Hal ini memungkinkan adanya inovasi-inovasi baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Ide Berners Lee inilah yang kemudian mendorong penciptaan internet. Dan HTTP ciptaan Berners Lee menjadi bagian tak terpisahkan dari internet.

RESPONSE PAPER 7 : GLOBAL FALLOUT

Catatan : Respon Paper 7 ini hanya menambahkan dari Respon Paper 6 karena kebetulan pembagian halamannya sama, hanya bertambah 2 halaman

Global Fallout

Pembajakan software secara beramai-ramai dan besar-besaran pada banyak negara menimbulkan banyak kerugian secara global. Itulah sebenarnya inti dari bab 6: Global Fallout ini. Dampak yang ditimbulkan sangat besar sehingga dapat menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan potensi pemasukan dari pajak. Pertumbuhan industri software lokal dan para distributor software lokal merupakan pihak yang paling menderita atas pembajakan. Sementara para perusahaan raksasa seperti Microsoft dan Adobe tampaknya sedikit saja terpengaruh oleh pembajakan. Hal ini dikarenakan adanya margin keuntungan yang didapat dari penjualan secara global dalam jumlah besar. Lain halnya dengan perusahaan software dan distributor lokal.

Pembajakan juga mengurangi penyerapan tenaga kerja. Hal ini karena tidak adanya tenaga kerja yang dapat diserap dari produksi software lokal dan saluran distribusi lokal. Pemerintah juga tampaknya tidak mendapat pemasukan dari pajak. Padahal, untuk setiap software asli yang terjual, pemerintah mendapat pajak.

Intinya adalah bahwa, dengan mencoba mendapat “gratisan”, pelaku pembajakan dan pengguna software bajakan sedang mengurangi perputaran uang di masyarakat. Imbasnya adalah hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya terjadi. Jika demikian, apakh pemberantasan pembajakan software merupakan suatu pilihan yang “more good than harm”?

Dalam bab 6, di bab “Global Fallout”, Gantz dan Rochester menulis tentang pembajakan di Russia, dimana pembajakan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan. Di sebuah stasiun di Savyolovaska, software-software komputer dijual di toko-toko yang setara dengan kaki lima. Tercatat, Microsoft Windows XP, SQL Server, dan Autodesk 2004 dijual bersamaan dengan banyak judul games, software dan album musik lainnya seharga 80 rubles, atau sekitar 3 USD. Jika dirupiahkan, 1 rubles = Rp 392,163, maka satu software bajakan berharga Rp. 31.409,06. Harga ini berlaku untuk semua album, film, game, maupun software. Padahal, versi original sebuah film berharga $25, dan software bisa berharga hingga $1000.

Bagaimana bisnis software bajakan tidak berkembang jika demikian menguntungkan. Indonesia juga demikian. Sebuah software bajakan di Mangga Dua bisa berharga Rp. 20.000. Bahkan, penulis pernah menemukan sebuah tempat yang menjual software bajakan seharga Rp. 5000. Di tempat itu, pembeli memesan terlebih dahulu software yang akan dibajak, lalu kemudian baru di-burn sesuai permintaan. Sebuah totalitas dalam melakukan kriminal.

Bagaimanapun, Indonesia dan Russia hanya terpaut sedikit jika dibandingkan kadar pembajakannya. Menurut data IDC tahun 2004 yang disajikan Gantz dan Rochester, pembajakan di Indonesia 88%, sementara Russia 87%. Indonesia mungkin masih beralasan, yaitu rendahnya daya beli. Tetapi bagaimana dengan Russia? Russia adalah negara yang, dicatat oleh Gantz dan Rochester, memiliki ilmuwan yang setara dengan AS, memiliki skill penulisan software yang terkenal seantero Eropa, dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembajakan software memang ternyata bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa pandang latar belakang.

10 negara teratas dalam pembajakan software

1. Vietnam

92%

2. Cina

92%

3. Ukraina

91%

4. Indonesia

88%

5. Zimbabwe

87%

6. Russia

87%

7. Algeria

84%

8. Nigeria

84%

9. Pakistan

83%

10.Paraguay

83%

Figure 6-1 Top 10 PC Software pirating countries

Persentase diatas dapat diartikan bahwa misalnya, untuk Russia, 87 dari 100 komputer di negara ini diisi software bajakan. Daftar ini tentu saja masih panjang kebawah, dalam artian, banyak negara lain yang dalam kadar yang lebih rendah juga melakukan pembajakan. IDC mencatat, harga software yang dibajak pada tahun 2003 mencapai USD 28,8 milliar. Jika dihitung total, termasuk semua software yang ada pada komputer jaringan, maka jumlahnya menggelembung menjadi USD 42 milliar. Ini tentu saja karena komputer jaringan pasti menggunakan aplikasi kantoran dan software jaringan. Dan tidak semua pengelola jaringan mempunyai kesadaran mempergunakan software asli. Sebagian besar malah tidak memperdulikannya.

Bagaimana dengan AS? Negara ini ternyata juga menyumbang kerugian akibat pembajakan. Walaupun termasuk negara yang paling rendah tingkat pembajakannya, nilai retail software bajakan di AS mencapai USD 10 milliar.

Lalu, jika semua menggunakan software asli, apakah para produsen akan otomatis bertambah kaya USD 42 milliar? Tentu saja tidak. Jika tidak ada software asli, maka para pengguna kemungkinan besar akan mencari alternatif lain yang lebih murah. Yang jelas, menurut Gantz dan Rochester, pemakaian software asli akan meningkatkan perputaran ekonomi, meningkatkan investasi pada riset dan pengembangan, dan akhirnya mendorong timbulnya software-software baru.

Lalu apa dampak dari penggunaan software bajakan dari sisi pengguna? Salah satu yang paling nyata adalah kehilangan pendapatan dari pajak. Para pengguna juga tidak mendapatkan dukungan seperti update gratis, tutorial, dan sebagainya.

Selasa, 25 Maret 2008

STOP TREAT THEM LIKE COMMODITIES

RESPONSE PAPER 5 : SUPPLY CHAIN

Seperti yang sudah disinggung dalam response paper sebelumnya, beberapa kekuatan utama Wal Mart adalah

  1. Efisiensi : Pemotongan Rantai Distribusi

Wal Mart, berbeda dengan toko retail lainnya, membeli langsung dari penjual. Konsep membeli langsung dari penjual dan kemudian didistribusikan ke pembeli eceran pertama kali dilakukan oleh Wal Mart. Cara ini jelas pada awalnya membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk mencari, menghubungi dan bernegosiasi dengan penjual, tetapi kemudian, terbukti bahwa cara ini adalah salah satu kekuatan utama bagi Wal Mart, terutama pada awal-awal pertumbuhannya. Dengan cara ini,

  1. Perbaikan Sistem Komunikasi dan Distribusi

Wal Mart adalah toko pertama yang menggunakan beberapa inovasi-inovasi sederhana namun bermanfaat. Salah satu contohnya adalah penggunaan radio komunikasi. Radio komunikasi ini ditanam pada semua truk pengangkut barang Wal Mart. Truk-truk inilah yang mengalirkan barang dari satu produsen ke gudang barang Wal Mart. Dengan radio komunikasi tadi, para koordinator dapat membuat distribusi dari gudang ke gudang ataupun dari produsen ke gudang dalam waktu yang singkat, atau boleh dibilang, mendadak. Jika sebuah gudang distribusi membutuhkan sebuah barang tertentu, tidak perlu menunggu jadwal pengiriman selanjutnya, tetapi cukup meminta dari truk pengangkut yang sedang berada di daerahnya. Cara ini membuat arus distribusi barang lebih cepat dan tepat sasaran. Barang juga tidak perlu lama-lama menumpuk di gudang, tetapi cukup dialirkan ke toko lain dimana barang jenis tersebut lebih dibutuhkan oleh para pelanggan. Cara lainnya adalah dengan menggunakan RFID, yaitu chip pengenal. Chip ini ditanam pada semua barang. Hal ini menjadikan waktu distribusi lebih cepat dan akurat. Begitu barang sudah melewati sensori, maka barang tersebut otomatis tercatat di pusat data (data base) perusahaan. Semua karakteristik barang tersebut, seperti warna, bentuk, ukuran, harga, produsen, dan kualitas langsung tersimpan secara otomatis. RFID juga diberlakukan saat menjual barang, jadi Wal Mart lebih cepat dalam mengenali kebutuhan konsumen. Barang tertentu yang dibutuhkan dalam waktu tertentu dapat dengan cepat di pesan.

Semua hal diatas menjadikan Wal Mart terkenal dengan sistem “supply chain” atau rantai distribusi. Rantai ini begitu rapi terjalin satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuk sebuah sistem yang sangat kuat. Sistem distribusi Wal Mart inilah faktor terkuat yang membuat Wal Mart mampu merajai bisnis retailer di dunia. Nilai kapital Wal Mart saat ini begitu besar, sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu perusahaan mulltinasional yang terbesar. Selain itu, jumlah karyawannya pun begitu besar. Sam Walton yang mendirikan Wal Mart pada 1962 di Rogers, Arkansas mungkin tidak pernah mengira bahwa bisnisnya akan berkembang seperti sekarang ini. Pada 1999, Wal Mart menjadi perusahaan swasta yang mempekerjakan orang dengan jumlah terbanyak di dunia[1].

Rantai distribusi yang dibuat Wal Mart memungkinkan untuk pertama, mengenali barang yang diantar langsung dari produsen dengan cepat. Barang dicatat hanya dalam waktu beberapa detik saat melewati sensori RFID. Setelah itu, semua data yang berkaitan dengan barang tersebut sudah tercatat di bank data. Barang kemudian siap dijual. Barang yang dimasukkan ke rak tentu saja hasil dari analisa tren penjualan selama beberapa hari terakhir. Ini adala monitor kebutuhan pelanggan. Kemudian, setelah barang diletakkan di rak, penjualannya dimonitor sebagai bahan analisis kebutuhan pelanggan untuk hari-hari berikutnya. Barang yang lama terjual dapat didistribusikan ke cabang lain. Cara distribusinya pun dapat dilakukan dengan cepat, yaitu dengan menghubungi truk yang sedang berada dekat toko tersebut. Truk dapat dihubungi karena mempunyai radio komunikasi. Demikianlah, rantai distribusi Wal Mart begitu kuat dan rapi.



[1] Wal-Mart. (2008). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite . Chicago: Encyclopædia Britannica.

RESPONSE PAPER 4 : SUPPLY CHAIN


Dalam dua response paper sebelumnya telah disinggung tentang strategi-strategi yang digunakan Wal Mart yang kemudian membawanya sebagai raja retail di dunia. Beberapa inti yang sebelumnya telah disampaikan adalah :

  1. efisiensi

efisiensi diwujudkan oleh Wal Mart dalam berbagai cara, seperti membeli langsung dari sumbernya / produsen barang, menekan harga, mendirikan pos-pos distribusi, dan sebagainya. Semua efisiensi ini membuat Wal Mart mendapat profit “kecil-kecil lama-lama menjadi bukit”. Biarpun penghematan yang dilakukan tampaknya sedikit, tetapi keuntungan didapat secara terus-menerus, dan hasilnya, untung yang dihasilkan cukup banyak.

  1. perbaikan sistem komunikasi

Wal Mart menanam radio komunikasi pada setiap truk distribusinya. Hal ini mengakibatkan, truk-truk tersebut dapat lebih cepat merespon kebutuhan cabang yang memerlukan barang tertentu. Truk itu pun dapat berbalik arah atau dengan tiba-tiba mampir di suatu cabang tanpa ada jadwal sebelumnya

Kini, yang ingin dibahas adalah betapa Wal Mart suka berinovasi dalam segala hal. Kebiasaan berinovasi ini menjadikannya lebih efisien dari waktu ke waktu. Salah satu contoh adalah dipakainya sistem RFID dalam pengolahan sistem informasi dan database perusahaan. Barang yang didistribusikan kini ditempeli tanda pengenal RFID berupa chip. Chip ini akan dikenali oleh sensori yang berada di pintu-pintu gudang. Chip RFID ini menyimpan semua data tentang barang tersebut, baik jenis, produsen, warna, bentuk, kualitas barang, dan sebagainya. Dengan cara ini, Wal Mart menghemat beberapa jam dalam distribusi barang. Dengan cara lama, waktu yang dibutuhkan seorang pencatat umumnya berkisar satu jam, tetapi dengan menggunakan RFID, waktu yang dibutuhkan hanyalah beberapa detik. Barang hanya tinggal dilewati oleh sensori maka semua data sudah terkirim ke pusat data. Cara ini juga dilakukan pada saat menjual barang. Jadi, Wal Mart dapat segera tahu, barang apa yang sedang terjual sekarang di kasir mana. Semua ini pada akhirnya berujung pada perbaikan riset tentang konsumen. Konsumen dapat lebih diteliti membeli apa dalam suatu waktu. Cara ini memudahkan Wal Mart untuk mengenali barang apa yang harus siap sedia pada saat-saat tertentu. Sebagai contoh, dari pengalaman, pada saat bencana alam badai, misalnya, para penduduk lebih suka membeli makanan yang sudah jadi atau makanan olahan yang mudah disajikan. Selain itu, pengunjung lebih suka membeli mainan plastik untuk menyibukkan anak-anak mereka yang biasanya bermain video games. Karena sedang dalam bencana alam, maka listrik tidak ada, dan anak-anak itu kemudian diberi mainan yang tidak menggunakan listrik.

Pengenalan akan pelanggan seperti inilah yang mendorong Wal Mart untuk lebih maju lagi. Ini berarti selalu ada barang yang dibutuhkan pada saat yang tepat. Pihak toko tidak perlu memperbanyak stok dengan barang-barang yang tidak perlu dan sulit terjual. Di lain pihak, Wal Mart tidak kehilangan potensi pendapatan yang diterima apabila barang tersebut tidak ada. Dengan demikian, Wal Mart menjaga stok barangnya agar tetap mengalir. Ini mengakibatkan hubungan yang lebih baik dengan produsen dan menjaga kualitas barang tetap baik karena tidak perlu berlama-lama di gudang. Selain itu, para pelanggan terpuaskan karena kebutuhannya terpenuhi. Teknologi memang bermanfaat. Berkat inilah salah satunya, selain dari banyak inovasi lain, Wal Mart mampu menjadi retailer terbesar di dunia saat ini, dan mungkin masih dalam waktu yang lama, mengingat nilai kapital yang dimilikinya sangat besar.

Selasa, 18 Maret 2008

RESPONSE PAPER 6 : GLOBAL FALLOUT

Gantz dan Rochester hal 147-153



Pembajakan. Dalam bab 6, di bab “Global Fallout”, Gantz dan Rochester menulis tentang pembajakan di Russia, dimana pembajakan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan. Di sebuah stasiun di Savyolovaska, software-software komputer dijual di toko-toko yang setara dengan kaki lima. Tercatat, Microsoft Windows XP, SQL Server, dan Autodesk 2004 dijual bersamaan dengan banyak judul games, software dan album musik lainnya seharga 80 rubles, atau sekitar 3 USD. Jika dirupiahkan, 1 rubles = Rp 392,163, maka satu software bajakan berharga Rp. 31.409,06. Harga ini berlaku untuk semua album, film, game, maupun software. Padahal, versi original sebuah film berharga $25, dan software bisa berharga hingga $1000.

Bagaimana bisnis software bajakan tidak berkembang jika demikian menguntungkan. Indonesia juga demikian. Sebuah software bajakan di Mangga Dua bisa berharga Rp. 20.000. Bahkan, penulis pernah menemukan sebuah tempat yang menjual software bajakan seharga Rp. 5000. Di tempat itu, pembeli memesan terlebih dahulu software yang akan dibajak, lalu kemudian baru di-burn sesuai permintaan. Sebuah totalitas dalam melakukan kriminal.

Bagaimanapun, Indonesia dan Russia hanya terpaut sedikit jika dibandingkan kadar pembajakannya. Menurut data IDC tahun 2004 yang disajikan Gantz dan Rochester, pembajakan di Indonesia 88%, sementara Russia 87%. Indonesia mungkin masih beralasan, yaitu rendahnya daya beli. Tetapi bagaimana dengan Russia? Russia adalah negara yang, dicatat oleh Gantz dan Rochester, memiliki ilmuwan yang setara dengan AS, memiliki skill penulisan software yang terkenal seantero Eropa, dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembajakan software memang ternyata bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa pandang latar belakang.

10 negara teratas dalam pembajakan software

1. Vietnam

92%

2. Cina

92%

3. Ukraina

91%

4. Indonesia

88%

5. Zimbabwe

87%

6. Russia

87%

7. Algeria

84%

8. Nigeria

84%

9. Pakistan

83%

10.Paraguay

83%

Figure 6-1 Top 10 PC Software pirating countries

Persentase diatas dapat diartikan bahwa misalnya, untuk Russia, 87 dari 100 komputer di negara ini diisi software bajakan. Daftar ini tentu saja masih panjang kebawah, dalam artian, banyak negara lain yang dalam kadar yang lebih rendah juga melakukan pembajakan. IDC mencatat, harga software yang dibajak pada tahun 2003 mencapai USD 28,8 milliar. Jika dihitung total, termasuk semua software yang ada pada komputer jaringan, maka jumlahnya menggelembung menjadi USD 42 milliar. Ini tentu saja karena komputer jaringan pasti menggunakan aplikasi kantoran dan software jaringan. Dan tidak semua pengelola jaringan mempunyai kesadaran mempergunakan software asli. Sebagian besar malah tidak memperdulikannya.

Bagaimana dengan AS? Negara ini ternyata juga menyumbang kerugian akibat pembajakan. Walaupun termasuk negara yang paling rendah tingkat pembajakannya, nilai retail software bajakan di AS mencapai USD 10 milliar.

Lalu, jika semua menggunakan software asli, apakah para produsen akan otomatis bertambah kaya USD 42 milliar? Tentu saja tidak. Jika tidak ada software asli, maka para pengguna kemungkinan besar akan mencari alternatif lain yang lebih murah. Yang jelas, menurut Gantz dan Rochester, pemakaian software asli akan meningkatkan perputaran ekonomi, meningkatkan investasi pada riset dan pengembangan, dan akhirnya mendorong timbulnya software-software baru. Lalu apa dampak dari penggunaan software bajakan pada sisi pengguna? Salah satu yang paling nyata adalah kehilangan pendapatan dari pajak. Para pengguna juga tidak mendapatkan dukungan seperti update gratis, tutorial, dan sebagainya.

Selasa, 26 Februari 2008

RESPONSE PAPER 3 : THE WORLD IS FLAT (SUPPLY CHAIN)

HAL 155-160

RENEY LENDY MOSAL
0905010719


Wal Mart memang tidak ada di Indonesia, setidaknya sampai saat ini, tetapi gaungnya sampai ke negara ini. Ia dikenal sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia. Pada 1999, menurut Encyclopaedia Britannica, Wal Mart mempekerjakan pegawai swasta melebihi semua perusahaan swasta di dunia. Sebelumnya, pada 1990, ia sudah menjadi retailer terbesar di AS

Pemotongan Rantai Distribusi Barang

Menarik disimak strategi bisnis Sam Walton, pendiri Wal Mart dalam memajukan toko grosir ini sehingga mendunia seperti sekarang. Walton, sejak awal, membangun Wal Mart dengan efisiensi tinggi. Dimulai ketika ia mendobrak kebiasaan toko grosir pada masanya. Dahulu, semua toko membeli barang dagangannya kepada para distributor besar (wholesalers). Wal Mart berbeda. Ia membeli langsung dari produsennya. Pada awalnya, jelas bukan pekerjaan mudah mendatangi produsen setiap barang satu per satu. Pekerjaan ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga, juga dana. Tetapi terbukti, dengan strategi inilah Sam Walton mampu melakukan efisiensi dalam bisnisnya.

Efisiensi dilakukan dalam banyak hal. Pertama, menekan harga dari produsen hingga ke nilai paling rendah, atau “until the last penny”. Kedua, berusaha mendapat potongan harga dari pembelian banyak. Dengan memotong rantai distribusi inilah, Wal Mart mendapat untung yang cukup besar. Ia kemudian belajar, bahwa dengan melayani lebih banyak konsumen, berarti lebih banyak barang yang terjual. Dengan banyaknya barang yang terjual, ia berarti lebih banyak mendapat pemasukan. Tetapi selain itu, dengan menjual lebih banyak, ia juga akan mendapat potongan lebih besar dari produsen, yang lagi-lagi akan memperbesar margin keuntungannya. Dengan cara inilah, salah satunya, Walton menggelembungkan kapital Wal Mart hingga seperti sekarang ini.


Perbaikan Jaringan Distribusi

Selain memotong harga dari produsen, Wal Mart juga membenahi sistem jaringan distribusinya. Banyak gudang-gudang distribusi didirikan. Gudang-gudang distribusi inilah yang menampung barang dari semua produsen di seluruh dunia. Melalui prinsip jaringan distribusi yang rapi dan efisien ini, Wal Mart mampu berkembang dari sekedar toko kecil di Arkansas yang nilai kapitalnya hanya 4-5 persen dari pesaingnya, KMART dan SEARS menjadi toko retail terbesar di dunia. Dalam memperbaiki jaringan distribusinya, Wal Mart menggunakan banyak inovasi dalam skala teknis yang terbukti ampuh, seperi penggunaan headphone pada setiap petugas distribusi yang mengingatan secara terus menerus akan jadwal, apakah mereka terlambat atau tidak. Penggunaan headphone ini disisi lain menjaga agar tangan para karyawan tetap bekerja dengan bebas.

Selain itu, Wal Mart juga melengkapi para sopirnya dengan radio satelit agar dapat mudah berkomunikasi. Komunikasi ini diperlukan agar semua truk mudah dikontrol. Sebagai contoh, jika sebuah truk dijadwalkan mengantar barang dari A ke B, tetapi ditengah jalan mendapat “titipan” barang dari C, maka pesanan mendadak ini dapat segera dilaksanakan tanpa harus menjadwal ulang rute truk tadi.

Perbaikan Sistem Informasi

Perbaikan dalam bidang sistem informasi pun tidak ketinggalan. Wal Mart membenahi sistem informasinya dengan menggunakan RFID, yaitu chip penganal otomatis yang menyimpan semua data tentang suatu barang mencakup nama, produsen, kadaluarsa, warna, materi, kondisi, dan sebagainya. Penjelasan mengenai pemakaian RFID oleh Wal Mart akan dibahas lebih lanjut pada response paper selanjutnya. Selain RFID, Wal Mart retailer yang pertama kali mengembangkan sistem informasi tentang apa yang orang beli dan seberapa banyak pembeliannya. Data ini tidak hanya dimonopoli oleh Wal Mart, tetapi juga diberikan kepada produsen agar produsen cepat beradaptasi terhadap keinginan pembeli. Wal Mart menjadikan produsennya sebagai rekan kerja, bukan sapi perahan.





Selasa, 19 Februari 2008

Response Paper 2 : "The World Is Flat" halaman 155-171

INOVASI : PEMOTONGAN RANTAI DISTRIBUSI

Sam Walton, pendiri Wal-Mart mewariskan sebuah inovasi bisnis yang menjadi prinsip usaha Wal-Mart hingga sekarang, yaitu efisiensi dalam distribusi. Efisiensi ini diwujudkan dengan cara membeli barang langsung dari produsennya. Pada saat Wal-Mart didirikan, cara yang lazim dilakukan adalah membeli barang dari distributor besar (grosir). Tidak hanya itu, Wal Mart juga berusaha sekeras mungkin memotong harga dari produsen sehingga mencapai harga serendah-rendahnya. Efisiensi menjadi kata kunci dalam bisnisnya. Pada kelanjutannya, WalMart mendirikan banyak cabang dan pusat distribusi. Dan sejak itu, Wal Mart berkembang pesat. Prinsipnya adalah, semakin banyak melayani konsumen, semakin banyak barang yang terjual, semakin besar pula diskon yang akan didapat dari produsen karena membeli dalam jumlah besar.

INOVASI : SISTEM KOMUNIKASI DAN INFORMASI (DATABASE)

Pada kelanjutannya, Wal Mart juga banyak melakukan perbaikan pada bidang komunikasi internal dan sistem informasi. Contohnya adalah pemasangan alat radio satelit pada setiap truk pengangkut barang. Implikasinya, truk pengangkut barang ini dapat seketika berubah arah ke cabang yang lebih membutuhkan barang, atau juga membagi-bagi barang ke beberapa cabang. Cara ini meningkatkan efisiensi distribusi barang. Efisiensi berarti pertambahan pemasukan lagi.

Dari sisi produsen, Wal Mart juga melakukan pendekatan. Mereka memperlakukan produsen sebagai partner kerja, bukan sapi perahan. Para distributor diberi tahu seberapa banyak barang mereka laku di pasaran, dan berapa stok yang masih dimiliki. Dengan demikian, wajarlah jika banyak produsen yang memilih Wal Mart.

Dari sisi sistem informasi, mereka melakukan pembenahan dengan menggunakan RFID, yaitu teknologi yang menggunakan gelombang radio untuk mengenali obyek. RFID ini ditempatkan pada setiap kemasan besar (kardus) dari barang. Penggunaan RFID menggantikan barcode terbukti meningkatkan efisiensi waktu berkali-kali lipat. Para petugas di gudang tidak perlu berlama-lama memeriksa barang-barang yang baru masuk. Biasanya sebelumnya, terjadi penyumbatan di level ini. Pekerjaan yang dahulu dilakukan berjam-jam, dapat dilakukan dalam beberapa detik .

Penggunaan sistem RFID juga meningkatkan analisis terhadap database barang. Wal Mart dapat memeriksa, barang apa yang laku disaat-saat tertentu, dan siapa pembelinya. Contohnya adalah, saat terjadi bencana alam angin ribut, ditemukan bahwa orang menyukai makanan instant yang mudah disimpan dan tidak mudah busuk. Ditemukan juga bahwa para orangtua membutuhkan banyak mainan yang tidak membutuhkan listrik agar anak tetap senang di rumah. Kedua data ini kemudian menjadi dasar bagi Wal Mart untuk memperbanyak stok kedua barang tersebut. Hasilnya? Peningkatan keuntungan.

SISI BURUK WAL MART

Tetapi, cara yang sama, ironisnya, juga mendatangkan masalah bagi WalMart. Efisiensi yang dilakukannya dinilai berlebihan. Wal Mart sering menyuruh para pekerjanya kerja hingga larut malam. Bahkan, beberapa praktek mengunci pekerja didalam toko sehingga tidak dapat pulang beberapa kali ditemukan. Para produsen pun mengeluhkan banyaknya tekanan dan tuntutan Wal Mart. Retailer ini juga dinilai menggaji karyawannya terlalu rendah. Itulah memang dimensi lain dari strategi bisnis Wal Mart dalam menjaring keuntungan semaksimal mungkin.

UPS

UPS dapat disejajarkan dengan WalMart, bedanya, UPS bergerak dalam bidang logistik / kurir. Inovasi UPS adalah “insourcing”, yaitu dengan menggabungkan dua jasa kedalam satu atap. Latar belakangnya adalah keridakmampuan perusahaan untuk membuat rantai distribusi yang sekuat Wal Mart. Banyak perusahaan lebih memilih untuk menghasilkan produk-produk berkualitas daripada harus rumit menyusun sistem distribusi, contohnya Nike.

Jadi, misalnya, saat kamu membutuhkan servis atas printermu yang masih bergaransi, perusahaan akan menyuruh kamu mengirim lewat UPS agar dapat diperbaiki. Kesannya adalah bahwa UPS bertindak sebagai kurir. Padahal, kenyataannya tidak. Printer tersebut akan diperbaiki di jaringan kantor UPS.

Kamis, 14 Februari 2008

Surat Kabar Denmark Publikasikan Lagi Kartun Nabi Muhammad SAW

dikopi dari tulisan Asnawi Ali, dari sebuah milis

Surat kabar Jyllands-Posten yang terbit di Denmark ternyata tidak sensitif dengan kemarahan umat Islam ketika surat kabar itu mempublikasikan kartun-kartun yang melecehkan Nabi Muhammad SAW tahun 2005 lalu. Surat kabar itu ternyata kembali mempublikasikan kartun-kartun tersebut, dan langkah itu akan diikuti dua surat kabar lainnya di Denmark.

Manajer pers Jyllands-Posten, Tage Clausen pada situs BBC News mengakui bahwa surat kabar tersebut pada edisi cetak dan website nya mempublikasikan kembali gambar kartun Nabi Muhammad SAW mengenakan sorban berbentuk bom yang akan meledak. Publikasi dilakukan satu hari setelah aparat menangkap tiga warga muslim yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Kurt Westergard, salah seorang pembuat kartun Nabi tersebut.

Editor Jyllands-Posten, Carsten Juste mengaku bahwa ia dan staff surat kabar tersebut terkejut dengan informasi rencana pembunuhan itu. "Kami sudah terbiasa dengan ancaman bom dan ancaman mati sejak kasus kartun itu, tapi baru kali ini kami mendengar kabar adanya rencana pembunuhan semacam itu, " kata Juste.

Perjuangan Siti Fadilah Supari

Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI sekarang, membuat langkah berani dalam memperjuangkan transparansi terkait kasus flu burung. Avian Influenza atau akrab disebut flu burung, mulai ganas pada tahun 2005. Anehnya, pada saat itu, vaksin flu burung diborong oleh negara maju, menyisakan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk berperang tanpa tameng dengan virus tersebut.

Ketika virus sudah menjalar, dan korban mulai berjatuhan di Vietnam, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) mengumpulkan sampel virus dari Vietnam, untuk kemudian diselidiki. Penyelidikan itu menghasilkan bibit virus, dan dari bibit virus itulah dibuat vaksin.

Keanehan dimulai ketika kemudian perusahaan-perusahaan farmasi dunia membuat virus itu, dan kemudian menjualnya ke seluruh dunia. WHO memprakarsai ini dengan menyuruh seluruh negara yang terdapat virus Avian untuk mengirim spesimennya. Spesimen ini, pada akhirnya dimonopoli WHO, dan selanjutnya digunakan untuk kepentingan ekonomi.

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika pada 27 Mei 2006, The Strait Times Singapura mengeluarkan artikel bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data diagnosis virus H5NI ini di WHO CC. Data ini, tersimpan di Los Alamos National Laboratory, New Mexico. Di tempat yang sama AS membuat bom atom yang digunakan untuk membom Hiroshima.

Siti Fadilah menolak. Ia kemudian memperjuangkan keterbukaan informasi tersebut ke WHO. Usahanya kemudian berhasil. Los Alamos bersedia mempublikasikan data itu. Media dan ilmuwan kemudian memuji Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI




"For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird-flu viruses can be accessed by anyone". With those words, spoken on August 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia's health minister has chosen a weapon that may prove more useful than today's best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu : transparency.

-Economist .com

Selasa, 12 Februari 2008

Response Paper 1 : THE FUTURE OF SCHOLARLY PUBLISHING

hal 185-191

Penerbitan akademik menghadapi masalah serius. Dahulu, awalnya, penerbit di universitas dibiayai penuh oleh universitas tersebut. Columbia University misalnya, pada 1890 membiayai penerbitannya sendiri. Kini, keadaan tidak sama lagi. Anggaran universitas yang dialokasikan untuk penerbitan buku dan jurnal ilmiah semakin sedikit. Di sisi lain, biaya semakin banyak. Keadaan ini menuntut para penerbit seringkali harus membuat keputusan yang berorientasi pada keuntungan. Penerbit harus menggunakan cara-cara bisnis untuk tetap eksis. Walaupun demikian, hasil akhirnya tetap rugi. Hasilnya adalah manfaat akademis yang tergusur kepentingan bisnis. Sebagai contoh, penerbitan monograph, atau disebut juga risalah atau karangan ilmiah disisihkan oleh penerbitan jurnal. Hal ini dikarenakan jurnal lebih laku di pasaran. Padahal, manfaat akademis dari sebuah karangan ilmiah cukup besar.


Selain itu, penerbit di universitas juga terus dituntut untuk melahirkan sumbangan-sumbangan akademis bagi civitas academia. Inilah yang memperberat tuntutan penerbit di universitas. Dalam sudut pandang administrasi universitas, anggaran untuk kepentingan akademik terbagi dua, yaitu untuk konsumsi, dan produksi. Konsumsi dijalankan oleh perpustakaan kampus. Sedangkan produksi dijalankan oleh penerbit kampus. Pembagian dana inilah yang kemudian membuat penerbit kampus menjadi “terkucilkan”. Karena, masuk akal apabila sektor konsumsi (perpustakaan) diberi prioritas, karena lebih mempunyai nilai tambah yang nyata. Sebagai contoh, apabila penerbit kampus membutuhkan Rp. 10 juta untuk menerbitkan satu judul buku sebanyak 1000 kopi (asumsi biaya cetak 1 buku Rp 10.000), maka dengan jumlah uang yang sama, perpustakaan kampus dapat membeli 200 judul buku baru (asumsi harga satuan Rp 50.000). Jadi, secara kasar jelas terlihat bahwa sektor konsumsi (perpustakaan) memberi nilai tambah yang lebih nyata.


Masalah juga terdapat pada level eksternal, dalam hal ini adalah para ahli dan penerbit dari universitas lain. Mereka dapat menjadi pesaing-pesaing kuat dalam memperebutkan pasar yang memang sudah sedikit.


Selain itu, masalah juga terdapat pada membludaknya cetakan, baik itu buku, karangan ilmiah, maupun jurnal. Hal ini berkaitan dengan sistem yang terdapat dalam universitas itu sendiri. Misalnya, dalam pengangkatan pejabat fakultas. Ukuran kompetensi yang ikut berperan dalam menyaring calon adalah seberapa banyak orang tersebut menghasilkan karangan ilmiah. Semakin produktif seseorang, tentu akan menjaadi nilai tambah tersendiri. Hal ini mendorong pada banyaknya karangan ilmiah yang dipublikasikan. Efeknya adalah, terlalu banyak karangan ilmiah, namun sedikit pembaca / konsumen. Konsumen pun terbatas kalangan akademisi, baik dosen, maupun mahasiswa. Jarang sekali karangan ilmiah mendapat tempat di pasar umum.


Masalah juga terkait dengan banyaknya ahli-ahli, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial yang relatif lebih banyak melahirkan akademisi bergelar S2, dan S3.


Semua masalah ini mendorong penerbit kampus lebih selektif dalam memilih bahan yang akan dipublikasikan. Beberapa tema bahkan sudah tidak dipublikasikan, seperti tema-tema literatur, khususnya literatur asing. Idealkah keputusan untuk menolak menerbitkan buku? Dari sudut pandang kepentingan akademis, tentu saja hal ini salah. Tetapi, dari sudut pandang penerbit buku sebagai entitas ekonomi independen, tentu saja hal ini dibenarkan.


Hasil akhir dari benang kusut inilah yang menjadi signifikansi bagi perubahan dari printed publishing menjadi electronic publishing. Penerbitan elektronik diharapkan mampu memberi solusi jangka panjang, karena sistem distribusi yang ditawarkan adalah “print on demand”. Dengan cara ini, penerbit tidak perlu khawatir buku cetakannya tidak laku. Semua civitas academia pun dapat bebas mempublikasikan karangan ilmiah, yang kemudian disimpan dalam bentuk digital, tanpa perlu membuatnya dalam bentuk cetak. Memang, ada sejumlah masalah yang mengikuti, termasuk didalamnya tentang ketiadaan standarisasi software yang digunakan untuk membaca, belum lagi sederet masalah lain terkait dengan distribusi, ketahanan, dan sebagainya. Tetapi, adakah cara lain yang lebih baik untuk menyelamatkan masa depan penerbit kampus?



Reney L Mosal
0905010719

Senin, 11 Februari 2008

Blog for Dummies

Berikut ini adalah video singkat tentang bagaimana cara membuat blog ini.


Ada Adsense di Situs DepBudPar

Situs www.my-indonesia.info adalah situs yang digagas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Biaya pembuatan situs ini sendiri mencapai 17,5 miliar. Situs ini dibuat untuk menunjang Visit Indonesia Year 2008, yaitu agar wisatawan asing lebih mudah mendapat informasi tentang Indonesia.

Sayang sekali, di sebuah halaman (bali.my-indonesia.info) ternyata dimuati Google Adsense. Seperti diketahui bersama, Google Adsense adalah program iklan dari Google yang membuat pemilik situs mendapat uang dari setiap pengunjung iklan di situsnya. Dalam hal ini, situs my-indonesia.info berada dibawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Idealkah pemerintah mencari uang dengan memasang iklan di situs resmi? Bagaimana dengan citra Indonesia di mata turis atau calon turis?





Komentar?

Introduction all

halo, ini posting pertama lho...