Selasa, 26 Februari 2008

RESPONSE PAPER 3 : THE WORLD IS FLAT (SUPPLY CHAIN)

HAL 155-160

RENEY LENDY MOSAL
0905010719


Wal Mart memang tidak ada di Indonesia, setidaknya sampai saat ini, tetapi gaungnya sampai ke negara ini. Ia dikenal sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia. Pada 1999, menurut Encyclopaedia Britannica, Wal Mart mempekerjakan pegawai swasta melebihi semua perusahaan swasta di dunia. Sebelumnya, pada 1990, ia sudah menjadi retailer terbesar di AS

Pemotongan Rantai Distribusi Barang

Menarik disimak strategi bisnis Sam Walton, pendiri Wal Mart dalam memajukan toko grosir ini sehingga mendunia seperti sekarang. Walton, sejak awal, membangun Wal Mart dengan efisiensi tinggi. Dimulai ketika ia mendobrak kebiasaan toko grosir pada masanya. Dahulu, semua toko membeli barang dagangannya kepada para distributor besar (wholesalers). Wal Mart berbeda. Ia membeli langsung dari produsennya. Pada awalnya, jelas bukan pekerjaan mudah mendatangi produsen setiap barang satu per satu. Pekerjaan ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga, juga dana. Tetapi terbukti, dengan strategi inilah Sam Walton mampu melakukan efisiensi dalam bisnisnya.

Efisiensi dilakukan dalam banyak hal. Pertama, menekan harga dari produsen hingga ke nilai paling rendah, atau “until the last penny”. Kedua, berusaha mendapat potongan harga dari pembelian banyak. Dengan memotong rantai distribusi inilah, Wal Mart mendapat untung yang cukup besar. Ia kemudian belajar, bahwa dengan melayani lebih banyak konsumen, berarti lebih banyak barang yang terjual. Dengan banyaknya barang yang terjual, ia berarti lebih banyak mendapat pemasukan. Tetapi selain itu, dengan menjual lebih banyak, ia juga akan mendapat potongan lebih besar dari produsen, yang lagi-lagi akan memperbesar margin keuntungannya. Dengan cara inilah, salah satunya, Walton menggelembungkan kapital Wal Mart hingga seperti sekarang ini.


Perbaikan Jaringan Distribusi

Selain memotong harga dari produsen, Wal Mart juga membenahi sistem jaringan distribusinya. Banyak gudang-gudang distribusi didirikan. Gudang-gudang distribusi inilah yang menampung barang dari semua produsen di seluruh dunia. Melalui prinsip jaringan distribusi yang rapi dan efisien ini, Wal Mart mampu berkembang dari sekedar toko kecil di Arkansas yang nilai kapitalnya hanya 4-5 persen dari pesaingnya, KMART dan SEARS menjadi toko retail terbesar di dunia. Dalam memperbaiki jaringan distribusinya, Wal Mart menggunakan banyak inovasi dalam skala teknis yang terbukti ampuh, seperi penggunaan headphone pada setiap petugas distribusi yang mengingatan secara terus menerus akan jadwal, apakah mereka terlambat atau tidak. Penggunaan headphone ini disisi lain menjaga agar tangan para karyawan tetap bekerja dengan bebas.

Selain itu, Wal Mart juga melengkapi para sopirnya dengan radio satelit agar dapat mudah berkomunikasi. Komunikasi ini diperlukan agar semua truk mudah dikontrol. Sebagai contoh, jika sebuah truk dijadwalkan mengantar barang dari A ke B, tetapi ditengah jalan mendapat “titipan” barang dari C, maka pesanan mendadak ini dapat segera dilaksanakan tanpa harus menjadwal ulang rute truk tadi.

Perbaikan Sistem Informasi

Perbaikan dalam bidang sistem informasi pun tidak ketinggalan. Wal Mart membenahi sistem informasinya dengan menggunakan RFID, yaitu chip penganal otomatis yang menyimpan semua data tentang suatu barang mencakup nama, produsen, kadaluarsa, warna, materi, kondisi, dan sebagainya. Penjelasan mengenai pemakaian RFID oleh Wal Mart akan dibahas lebih lanjut pada response paper selanjutnya. Selain RFID, Wal Mart retailer yang pertama kali mengembangkan sistem informasi tentang apa yang orang beli dan seberapa banyak pembeliannya. Data ini tidak hanya dimonopoli oleh Wal Mart, tetapi juga diberikan kepada produsen agar produsen cepat beradaptasi terhadap keinginan pembeli. Wal Mart menjadikan produsennya sebagai rekan kerja, bukan sapi perahan.





Selasa, 19 Februari 2008

Response Paper 2 : "The World Is Flat" halaman 155-171

INOVASI : PEMOTONGAN RANTAI DISTRIBUSI

Sam Walton, pendiri Wal-Mart mewariskan sebuah inovasi bisnis yang menjadi prinsip usaha Wal-Mart hingga sekarang, yaitu efisiensi dalam distribusi. Efisiensi ini diwujudkan dengan cara membeli barang langsung dari produsennya. Pada saat Wal-Mart didirikan, cara yang lazim dilakukan adalah membeli barang dari distributor besar (grosir). Tidak hanya itu, Wal Mart juga berusaha sekeras mungkin memotong harga dari produsen sehingga mencapai harga serendah-rendahnya. Efisiensi menjadi kata kunci dalam bisnisnya. Pada kelanjutannya, WalMart mendirikan banyak cabang dan pusat distribusi. Dan sejak itu, Wal Mart berkembang pesat. Prinsipnya adalah, semakin banyak melayani konsumen, semakin banyak barang yang terjual, semakin besar pula diskon yang akan didapat dari produsen karena membeli dalam jumlah besar.

INOVASI : SISTEM KOMUNIKASI DAN INFORMASI (DATABASE)

Pada kelanjutannya, Wal Mart juga banyak melakukan perbaikan pada bidang komunikasi internal dan sistem informasi. Contohnya adalah pemasangan alat radio satelit pada setiap truk pengangkut barang. Implikasinya, truk pengangkut barang ini dapat seketika berubah arah ke cabang yang lebih membutuhkan barang, atau juga membagi-bagi barang ke beberapa cabang. Cara ini meningkatkan efisiensi distribusi barang. Efisiensi berarti pertambahan pemasukan lagi.

Dari sisi produsen, Wal Mart juga melakukan pendekatan. Mereka memperlakukan produsen sebagai partner kerja, bukan sapi perahan. Para distributor diberi tahu seberapa banyak barang mereka laku di pasaran, dan berapa stok yang masih dimiliki. Dengan demikian, wajarlah jika banyak produsen yang memilih Wal Mart.

Dari sisi sistem informasi, mereka melakukan pembenahan dengan menggunakan RFID, yaitu teknologi yang menggunakan gelombang radio untuk mengenali obyek. RFID ini ditempatkan pada setiap kemasan besar (kardus) dari barang. Penggunaan RFID menggantikan barcode terbukti meningkatkan efisiensi waktu berkali-kali lipat. Para petugas di gudang tidak perlu berlama-lama memeriksa barang-barang yang baru masuk. Biasanya sebelumnya, terjadi penyumbatan di level ini. Pekerjaan yang dahulu dilakukan berjam-jam, dapat dilakukan dalam beberapa detik .

Penggunaan sistem RFID juga meningkatkan analisis terhadap database barang. Wal Mart dapat memeriksa, barang apa yang laku disaat-saat tertentu, dan siapa pembelinya. Contohnya adalah, saat terjadi bencana alam angin ribut, ditemukan bahwa orang menyukai makanan instant yang mudah disimpan dan tidak mudah busuk. Ditemukan juga bahwa para orangtua membutuhkan banyak mainan yang tidak membutuhkan listrik agar anak tetap senang di rumah. Kedua data ini kemudian menjadi dasar bagi Wal Mart untuk memperbanyak stok kedua barang tersebut. Hasilnya? Peningkatan keuntungan.

SISI BURUK WAL MART

Tetapi, cara yang sama, ironisnya, juga mendatangkan masalah bagi WalMart. Efisiensi yang dilakukannya dinilai berlebihan. Wal Mart sering menyuruh para pekerjanya kerja hingga larut malam. Bahkan, beberapa praktek mengunci pekerja didalam toko sehingga tidak dapat pulang beberapa kali ditemukan. Para produsen pun mengeluhkan banyaknya tekanan dan tuntutan Wal Mart. Retailer ini juga dinilai menggaji karyawannya terlalu rendah. Itulah memang dimensi lain dari strategi bisnis Wal Mart dalam menjaring keuntungan semaksimal mungkin.

UPS

UPS dapat disejajarkan dengan WalMart, bedanya, UPS bergerak dalam bidang logistik / kurir. Inovasi UPS adalah “insourcing”, yaitu dengan menggabungkan dua jasa kedalam satu atap. Latar belakangnya adalah keridakmampuan perusahaan untuk membuat rantai distribusi yang sekuat Wal Mart. Banyak perusahaan lebih memilih untuk menghasilkan produk-produk berkualitas daripada harus rumit menyusun sistem distribusi, contohnya Nike.

Jadi, misalnya, saat kamu membutuhkan servis atas printermu yang masih bergaransi, perusahaan akan menyuruh kamu mengirim lewat UPS agar dapat diperbaiki. Kesannya adalah bahwa UPS bertindak sebagai kurir. Padahal, kenyataannya tidak. Printer tersebut akan diperbaiki di jaringan kantor UPS.

Kamis, 14 Februari 2008

Surat Kabar Denmark Publikasikan Lagi Kartun Nabi Muhammad SAW

dikopi dari tulisan Asnawi Ali, dari sebuah milis

Surat kabar Jyllands-Posten yang terbit di Denmark ternyata tidak sensitif dengan kemarahan umat Islam ketika surat kabar itu mempublikasikan kartun-kartun yang melecehkan Nabi Muhammad SAW tahun 2005 lalu. Surat kabar itu ternyata kembali mempublikasikan kartun-kartun tersebut, dan langkah itu akan diikuti dua surat kabar lainnya di Denmark.

Manajer pers Jyllands-Posten, Tage Clausen pada situs BBC News mengakui bahwa surat kabar tersebut pada edisi cetak dan website nya mempublikasikan kembali gambar kartun Nabi Muhammad SAW mengenakan sorban berbentuk bom yang akan meledak. Publikasi dilakukan satu hari setelah aparat menangkap tiga warga muslim yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Kurt Westergard, salah seorang pembuat kartun Nabi tersebut.

Editor Jyllands-Posten, Carsten Juste mengaku bahwa ia dan staff surat kabar tersebut terkejut dengan informasi rencana pembunuhan itu. "Kami sudah terbiasa dengan ancaman bom dan ancaman mati sejak kasus kartun itu, tapi baru kali ini kami mendengar kabar adanya rencana pembunuhan semacam itu, " kata Juste.

Perjuangan Siti Fadilah Supari

Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI sekarang, membuat langkah berani dalam memperjuangkan transparansi terkait kasus flu burung. Avian Influenza atau akrab disebut flu burung, mulai ganas pada tahun 2005. Anehnya, pada saat itu, vaksin flu burung diborong oleh negara maju, menyisakan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk berperang tanpa tameng dengan virus tersebut.

Ketika virus sudah menjalar, dan korban mulai berjatuhan di Vietnam, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) mengumpulkan sampel virus dari Vietnam, untuk kemudian diselidiki. Penyelidikan itu menghasilkan bibit virus, dan dari bibit virus itulah dibuat vaksin.

Keanehan dimulai ketika kemudian perusahaan-perusahaan farmasi dunia membuat virus itu, dan kemudian menjualnya ke seluruh dunia. WHO memprakarsai ini dengan menyuruh seluruh negara yang terdapat virus Avian untuk mengirim spesimennya. Spesimen ini, pada akhirnya dimonopoli WHO, dan selanjutnya digunakan untuk kepentingan ekonomi.

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika pada 27 Mei 2006, The Strait Times Singapura mengeluarkan artikel bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data diagnosis virus H5NI ini di WHO CC. Data ini, tersimpan di Los Alamos National Laboratory, New Mexico. Di tempat yang sama AS membuat bom atom yang digunakan untuk membom Hiroshima.

Siti Fadilah menolak. Ia kemudian memperjuangkan keterbukaan informasi tersebut ke WHO. Usahanya kemudian berhasil. Los Alamos bersedia mempublikasikan data itu. Media dan ilmuwan kemudian memuji Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI




"For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird-flu viruses can be accessed by anyone". With those words, spoken on August 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia's health minister has chosen a weapon that may prove more useful than today's best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu : transparency.

-Economist .com

Selasa, 12 Februari 2008

Response Paper 1 : THE FUTURE OF SCHOLARLY PUBLISHING

hal 185-191

Penerbitan akademik menghadapi masalah serius. Dahulu, awalnya, penerbit di universitas dibiayai penuh oleh universitas tersebut. Columbia University misalnya, pada 1890 membiayai penerbitannya sendiri. Kini, keadaan tidak sama lagi. Anggaran universitas yang dialokasikan untuk penerbitan buku dan jurnal ilmiah semakin sedikit. Di sisi lain, biaya semakin banyak. Keadaan ini menuntut para penerbit seringkali harus membuat keputusan yang berorientasi pada keuntungan. Penerbit harus menggunakan cara-cara bisnis untuk tetap eksis. Walaupun demikian, hasil akhirnya tetap rugi. Hasilnya adalah manfaat akademis yang tergusur kepentingan bisnis. Sebagai contoh, penerbitan monograph, atau disebut juga risalah atau karangan ilmiah disisihkan oleh penerbitan jurnal. Hal ini dikarenakan jurnal lebih laku di pasaran. Padahal, manfaat akademis dari sebuah karangan ilmiah cukup besar.


Selain itu, penerbit di universitas juga terus dituntut untuk melahirkan sumbangan-sumbangan akademis bagi civitas academia. Inilah yang memperberat tuntutan penerbit di universitas. Dalam sudut pandang administrasi universitas, anggaran untuk kepentingan akademik terbagi dua, yaitu untuk konsumsi, dan produksi. Konsumsi dijalankan oleh perpustakaan kampus. Sedangkan produksi dijalankan oleh penerbit kampus. Pembagian dana inilah yang kemudian membuat penerbit kampus menjadi “terkucilkan”. Karena, masuk akal apabila sektor konsumsi (perpustakaan) diberi prioritas, karena lebih mempunyai nilai tambah yang nyata. Sebagai contoh, apabila penerbit kampus membutuhkan Rp. 10 juta untuk menerbitkan satu judul buku sebanyak 1000 kopi (asumsi biaya cetak 1 buku Rp 10.000), maka dengan jumlah uang yang sama, perpustakaan kampus dapat membeli 200 judul buku baru (asumsi harga satuan Rp 50.000). Jadi, secara kasar jelas terlihat bahwa sektor konsumsi (perpustakaan) memberi nilai tambah yang lebih nyata.


Masalah juga terdapat pada level eksternal, dalam hal ini adalah para ahli dan penerbit dari universitas lain. Mereka dapat menjadi pesaing-pesaing kuat dalam memperebutkan pasar yang memang sudah sedikit.


Selain itu, masalah juga terdapat pada membludaknya cetakan, baik itu buku, karangan ilmiah, maupun jurnal. Hal ini berkaitan dengan sistem yang terdapat dalam universitas itu sendiri. Misalnya, dalam pengangkatan pejabat fakultas. Ukuran kompetensi yang ikut berperan dalam menyaring calon adalah seberapa banyak orang tersebut menghasilkan karangan ilmiah. Semakin produktif seseorang, tentu akan menjaadi nilai tambah tersendiri. Hal ini mendorong pada banyaknya karangan ilmiah yang dipublikasikan. Efeknya adalah, terlalu banyak karangan ilmiah, namun sedikit pembaca / konsumen. Konsumen pun terbatas kalangan akademisi, baik dosen, maupun mahasiswa. Jarang sekali karangan ilmiah mendapat tempat di pasar umum.


Masalah juga terkait dengan banyaknya ahli-ahli, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial yang relatif lebih banyak melahirkan akademisi bergelar S2, dan S3.


Semua masalah ini mendorong penerbit kampus lebih selektif dalam memilih bahan yang akan dipublikasikan. Beberapa tema bahkan sudah tidak dipublikasikan, seperti tema-tema literatur, khususnya literatur asing. Idealkah keputusan untuk menolak menerbitkan buku? Dari sudut pandang kepentingan akademis, tentu saja hal ini salah. Tetapi, dari sudut pandang penerbit buku sebagai entitas ekonomi independen, tentu saja hal ini dibenarkan.


Hasil akhir dari benang kusut inilah yang menjadi signifikansi bagi perubahan dari printed publishing menjadi electronic publishing. Penerbitan elektronik diharapkan mampu memberi solusi jangka panjang, karena sistem distribusi yang ditawarkan adalah “print on demand”. Dengan cara ini, penerbit tidak perlu khawatir buku cetakannya tidak laku. Semua civitas academia pun dapat bebas mempublikasikan karangan ilmiah, yang kemudian disimpan dalam bentuk digital, tanpa perlu membuatnya dalam bentuk cetak. Memang, ada sejumlah masalah yang mengikuti, termasuk didalamnya tentang ketiadaan standarisasi software yang digunakan untuk membaca, belum lagi sederet masalah lain terkait dengan distribusi, ketahanan, dan sebagainya. Tetapi, adakah cara lain yang lebih baik untuk menyelamatkan masa depan penerbit kampus?



Reney L Mosal
0905010719

Senin, 11 Februari 2008

Blog for Dummies

Berikut ini adalah video singkat tentang bagaimana cara membuat blog ini.


Ada Adsense di Situs DepBudPar

Situs www.my-indonesia.info adalah situs yang digagas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Biaya pembuatan situs ini sendiri mencapai 17,5 miliar. Situs ini dibuat untuk menunjang Visit Indonesia Year 2008, yaitu agar wisatawan asing lebih mudah mendapat informasi tentang Indonesia.

Sayang sekali, di sebuah halaman (bali.my-indonesia.info) ternyata dimuati Google Adsense. Seperti diketahui bersama, Google Adsense adalah program iklan dari Google yang membuat pemilik situs mendapat uang dari setiap pengunjung iklan di situsnya. Dalam hal ini, situs my-indonesia.info berada dibawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Idealkah pemerintah mencari uang dengan memasang iklan di situs resmi? Bagaimana dengan citra Indonesia di mata turis atau calon turis?





Komentar?

Introduction all

halo, ini posting pertama lho...